Jumat, 17 Desember 2010

PERJUANGAN SEORANG IBU

Waktu lahir anak kami yang pertama saya tidak sempat menunggui istri, karena waktu itu saya sedang di Bogor dan istri saya tinggal di rumah mertua. Ketika istri saya mengandung anak kami yang kedua, saya bertekad untuk menungguinya saat melahirkan. Waktu terus berlalu dan saat melahirkan pun sudah mulai dekat. Kira-kira beberapa hari sebelum waktu yang diperkirakan dokter, istri saya sudah mulai merasakan adanya kontraksi. Waktu itu kami pikir hanya sakit biasa, saya tidak segera membawanya ke bidan Sri Dody langganan kami. Hingga malam tiba, saya masih melakukan aktivitas seperti biasa. Saya mengajar mengaji beberapa remaja di rumah kami.

Kira-kira jam sebelas malam acara pengajian baru selesai. Istri saya segera keluar dan mengajak pergi ke bidan Sri Dody karena perutnya semakin sakit. Istri saya masih tampak kuat, jadi saya pergi ke rumah bidan dengan naik sepeda motor saja. Ternyata di rumah praktek bidan tersebut semua kamar sudah penuh. Satu-satunya ruangan yang kosong adalah kamar periksa bidan. Jadilah istri saya tidur di tempat tidur periksa yang kasurnya agak keras dan kurang nyaman untuk tiduran dalam waktu yang lama. Bu bidan segera memeriksa istri saya, katanya baru ‘bukaan dua’ dan masih agak lama waktu melahirkannya.

Setengah jam berlaku, istri saya semakin kesakitan. Dia merintih-rintih sambil memegangi perutnya dan bilang kalau sudah tidak kuat lagi. Karena tidak tega saya memanggil perawat untuk memeriksa kondisi istri saya. Perawat mengatakan jika ‘bukaanya’ belum cukup. Mulut saya terus berdzikir memohon kemudahan dari Allah, sementara istri saya terus merintih-rintih kesakitan. Air peluhnya mulai membasahi wajah dan tubuhnya.

Satu jam terus berlalu, saya tidak tega melihat istri yang begitu kesakitan. Malam itu datang lagi seorang ibu muda dengan ditandu beberapa orang tetangganya. Ibu itu mengerang-ngerang kesakitan hingga tidak bisa berjalan sendiri. Istriku diminta pindah ke ruang bersalin, karena ruang periksa akan digunakan untuk memeriksa ibu muda yang baru datang tersebut. Saya papah istriku untuk ke ruang bersalin yang berada di ujung ruangan yang lain.

Mulutku tak henti-hentinya berdzikir. Sepertinya saya bisa merasakan bagaimana rasa sakit yang dialami istriku. Saya panggil kembali perawat jaga. Kali ini dia datang bersama dengan Bu bidan. Perawat menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan. Istriku memegang tangaku erat-erat. Bu Bidan memberi aba-aba pada istriku untuk mengambil nafas dan mengejan. Saya lihat dengan mata kelapaku sendiri bagaimana anakku keluar dari rahim istriku. Darah berceceran dan rintihan istriku yang kesakitan membuat kepalaku semakin pening dan berkunang-kunang. Proses kelahiran anakku berlansung cepat. Bu bidan dengan sigap mengendong anakku, memandikannya dan merawat istriku. Saya tidak bisa menjelaskanya dengan kata-kata bagaimana perasaanku saat itu. Saya merasa akan pingsan.

Dalam sebuah hadist Rasullullah bersabda bahwa surga berada ditelapak kaki ibu. Bakti anak pada orang tua, khusunya ibu, dapat mengantarkan si anak mendapatkan surga. Perjuangan ibu sungguh sangat berat. Mulai dari dalam kandungan selama 9 bulan, perjuangan hidup mati saat melahirkan, hingga mengasuh anak sampai dewasa. Saya bisa memahaminya setelah saya menyaksikan sendiri bagaimana istri saya melahirkan anak kami yang kedua. Subhanallahhuwallahuakbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar